KELUARGA BESAR PUSKESMAS BARA-BARAYA MAKASSAR MENGUCAPKAN : SELAMAT MENYAMBUT TAHUN BARU 2016, SEMUGA SEGALA HARAPAN DAN CITA-CITA KITA TERCAPAI DI TAHUN MENDATANG
Rabu, 30 Desember 2015
Minggu, 01 November 2015
MENGENAL EMBOLI PARU
EMBOLI PARU
PENDAHULUAN
- Emboli paru (EP) adalah penyakit yang sering terjadi,
sampai saat ini masih merupakan penyakit paru yang sulit dalam diagnosis
maupun penatalaksanaannya.
- Sulit karena gejalanya tidak spesifik, sarana diagnostik
terbatas sedangkan perjalanan penyakit sangat akut, sehingga penderita
banyak yang meninggal sebelum terdiagnosis .
- Sepertiga lebih kasus terdiagnosis saat dilakukan otopsi.
- Hampir semua ( >90 % ) emboli paru merupakan
komplikasi dari trombosis vena dalam pada ekstremitas inferior, tempat
lain bisa berasal dari vena renalis, atrium dan ventrikel kanan,
ekstremitas atas,daerah pelvis terutama pada wanita .
- Juga dapat
terjadi emboli nontrombosis misalnya lemak, udara, cairan amnion, tumor,
dll tapi relatif jarang.
- Rudolf Virchow (tahun 1858) menyatakan bahwa trombosis
vena terjadi akibat hiperkoagulasi, kerusakan dinding pembuluh darah dan
perlambatan aliran darah .
- Faktor-faktor risiko yang mempermudah terjadinya emboli
paru adalah berbaring lama atau immobilisasi, tindakan bedah, kehamilan
dan persalinan, penggunaan obat kontrasepsi,usia lanjut, stroke, penyakit
jantung, kegemukan, trauma
PATOGENESIS
·
Paru berfungsi sebagai alat pernapasan juga sebagai alat filtrasi darah, sehingga
partikel-partikel yang terbawa oleh darah vena akan terperangkap pada anyaman pembuluh darah paru, akibatnya
paru merupakan target organ bagi trombus
yang berasal dari seluruh tubuh.
·
Tetapi paru juga mempunyai kemampuan endogen untuk melisiskan
trombus .
·
Terbentuknya trombus vena dimulai dengan perubahan
mekanisme koagulasi darah, kerusakan
endotel pembuluh darah, dan penurunan aliran darah yang dikenal sebagai trias
Virchow, dan sebagai faktor keempat adalah sistem fibrinolitik endogen.
·
Berbagai faktor dapat mengganggu keseimbangan mekanisme
tersebut sehingga mempermudah terbentuknya trombus .
·
Trombus biasanya tumbuh di daerah katup vena. Trombosit
beragregasi membentuk suatu nidus (trombus putih ), diikuti terbentuknya
trombus fibrin (trombus merah) yang besar. Proses ini berlangsung cepat, hingga
dalam beberapa menit saja sudah terbentuk trombus yang besar dan luas.
·
Setelah pembentukan trombus, terjadi dua proses resolusi,
yaitu fibrinolisis dan organisasi. Fibrinolisis menyebabkan resolusi komplit
dalam beberapa jam sampai beberapa hari.
·
Kadang-kadang ada bagian trombus yang tersisa, mengalami
organisasi, diliputi lapisan fibrotik yang selanjutnya mengalami
reendotelisasi. Fibrinolisis dan organisasi mencapai keadaan stabil dalam 7 -
10 hari, sehingga risiko tinggi untuk terjadinya emboli paru adalah pada
hari-hari pertama setelah pembentukan trombus .
·
Faktor2 yang mempermudah terjadinya emboli paru. Aktivasi
faktor koagulasi yang berlebihan oleh kolagen, endotoksin, bahan prokoagulasi
yang dilepaskan oleh jaringan neoplasma, penglepasan tromboplastin ke sirkulasi
selama persalinan, tindakan bedah dan trauma dapat merupakan awal pembentukan
trombus. Platelet juga berperan pada tahap ini.
·
Penyakit jantung kongestif menyebabkan perlambatan aliran
darah, hal ini memudahkan pembentukan tromboemboli. Didapatkan kekerapan EP yang tinggi pada atrial fibrilasi dan
gagal jantung kongestif.
DIAGNOSIS
·
Diagnosis EP lebih sulit dari pada penatalaksanaan dan
pencegahan.
·
Diagnosis emboli paru berdasarkan : gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang : laboratorium, ronsen dada, EKG, analisa gas darah.
·
Dengan bantuan scanning ventilasi perfusi paru, dan angiografi paru diagnosis emboli paru dapat
ditegakkan .
GAMBARAN KLINIS
·
Manifestasi klinis emboli paru sangat bervariasi tergantung
pada, derajat, jumlah, ukuran dan lokasi emboli, usia penderita dan keadaan
jantung dan paru penderita sebelumnya.
·
Gambaran klinis emboli
paru akut dapat berupa : (1) Akut kor-pulmonale, (2) Infark paru atau
perdarahan dan (3) “Un explained Dyspnea” .
·
Akut kor-pulmonale terjadi jika EP masif akut dan menyumbat lebih dari 60-75
% sirkulasi paru. Penderita mengeluh tiba-tiba sesak napas. Terdapat gejala
yang disebabkan oleh penurunan curah jantung yang akut berupa hipotensi, sinkop
dan henti jantung.
·
Pada pemeriksaan fisik didapatkan takipne dan takikardi, juga
hipotensi. Didapatkan tanda-tanda gagal jantung kanan, peninggian tekanan vena
jugularis, bunyi jantung II yang mengeras terutama
komponen pulmonal, S3 dan galop.
·
Pemeriksaan fisik paru dan ronsen dada biasanya memberikan gambaran normal.
·
Gejala trombosis vena dalam mungkin ada.
·
Pemeriksaan EKG ,analisa gas darah dan pengukuran tekanan
vena sentral sangat membantu diagnosis akut korpulmonal.
·
Infark paru berhubungan dengan obstruksi tromboemboli pada
arteri pulmonalis berukuran sedang. Infark paru sangat jarang terjadi
(<10%). Hal ini disebabkan karena paru mendapatkan oksigen dari 3 sumber
yaitu dari a. pulmonalis, a. bronkialis dan dari saluran napas .
·
Terdapat gejala klasik yaitu nyeri dada pleuritik yang mendadak dengan atau tanpa sesak napas
dan batuk darah.
·
Pada pemeriksaan fisik didapatkan takipne, pada pemeriksaan
paru bisa didapatkan ronkhi, wheezing,efusi pleura, kadang-kadang “pleural friction rub”.
·
Pendarahan pada paru memberi gambaran infiltrat pada ronsen
dada, terlihat peninggian diafragma atau efusi pleura minimal pada sisi lesi.
·
Analisa gas darah memberi gambaran hipokapni dan alkalosis
respiratorik.
·
“ Un explained Dyspnea “ terjadi pada emboli EP submasiv.
Gambaran EKG masih normal dan pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan gagal
ventikel kanan . Gambaran ronsen dada normal dan tidak ada keluhan nyeri
pleuritik . Kelainan fisik yang didapat berupa takhipne, takhikardi dan
anxietas.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ronsen Dada
·
Ronsen dada biasanya normal pada penderita emboli paru.
Pemeriksaan ronsen dada sangat membantu untuk mengevaluasi penderita dengan
nyeri pleuritk yang diduga mengalami infark paru. Kelainan yang sering didapatkan adalah
infiltrat, peninggian diafragma , efusi pleura unilateral biasanya sedikit,.
·
Pada penderita dengan akut korpulmonal atau a “Un explained
dyspnea” tanpa infark paru ronsen dada biasanya normal .
·
Gambaran atelektasis, “ Westermark sign “ berupa gambaran paru hiperlusen akibat berkurangnya
aliran darah dan penonjolan arteri pulmonalis kadang-kadang terlihat .
Laboratorium
·
Tidak ada pemeriksaan yang spesifik untuk EP, tapi biasanya
terdapat peningkatan LDH, bilirubin ,serum SGPT.
·
Pemeriksaan plasma D-Dimer terdapat peningkatan konsentrasi
plasma D - Dimer tapi tidak spesifik.
Elektrokardiogram
·
Gambaran EKG yang sering ditemukan adalah perubahan segmen ST
dan gelombang T yang tidak spesifik. Sering juga didapatkan gambaran takikardi
atau aritmia .
Analisis gas darah
·
Perubahan pada gas darah tidak spesifik tapi pada EP masiv
biasanya didapatkan hipoksemia, hipokapni dan alkalosis respiratorik..
Scanning Ventilasi
/Perfusi Paru
·
Interpretasi scanning ventilasi-perfusi paru berupa : normal, “low probability”,
“intermediate probability”, “high probability”,
·
Bila scanning perfusi normal , maka kemungkinan tromboemboli
paru dapat disingkirkan dan tidak memerlukan pemeriksaan lain. Angiografi Paru
· Pemeriksaan angiografi paru dapat mendeteksi EP dengan
diameter 1 – 3 mm. Pemeriksaan ini
merupakan test yang definitive. Pada EP ditemukan defek intra lumen ( filling
defects ) dan gambaran arteri yang terputus ( cut off ) pada angiografi. Oligemi dan asimetri aliran darah bisa diduga
EP tapi tidak spesifik.
PENATALAKSANAAN
·
Tujuan terapi pada EP adalah (1) Segera menghambat
terbentuknya tromboemboli. (2) Mempercepat resolusi tromboemboli. (3) Mencegah
kekambuhan .
· Penatalaksanaan EP berupa pencegahan dan terapi definitif.
Terapi pencegahan berdasarkan pada konsep bahwa dalam tubuh terdapat sistem fibrinolitik
intrinsic.
·
Yang termasuk terapi pencegahan adalah pemberian antikoagulan berupa Heparin, Warfarin,
Dextran dan Interupsi vena cava inferior.
·
Terapi definitif berupa pemberian fibrinolitik yaitu streptokinase,
urokinase, dan “ recombinant tissue plasminogen activator”dan embolektomi .
Kamis, 29 Oktober 2015
PENGELOLAAN OBAT GOLONGAN NARKOTIKA
PENGELOLAAN NARKOTIKA
I. Pelayanan Obat Narkotika
Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Oleh
karena itu efek samping yang cukup berbahaya yakni menimbulkan ketergantungan
yang pada akhirnya dapat merusak mental sehingga penggunaannya perlu diawasi.
Peraturan
Pemerintah RI yang membahas tentang narkotika adalah UU No 22 tahun 1997
tentang narkotika, dinyatakan bahwa narkotika hanya boleh digunakan untuk
pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan. Untuk kepentingan ilmu
pengetahuan, menteri kesehatan memberi izin kepada apotek atau dokter untuk
menyediakan dan menggunakan narkotika. Pengadaan,
penyimpanan, pengeluaran dan pembuatan laporan bulanan narkotika pada Apotik ditangani oleh seorang asisten apoteker yang diberi kuasa
oleh kepala apotek.
II. Pengadaan
Pengadaan narkotika
di apotek dilakukan berdasarkan kebutuhan pelayanan apotek
dengan cara memesan secara resmi ke PBF yang merupakan penyalur
tunggal obat narkotika dengan menggunakan surat
pesanan khusus narkotika. Surat
pesanan narkotika tersebut sebanyak 5 rangkap yang kemudian ditandatangani oleh
Apoteker Pengelola Apotek dengan mencantumkan nama jelas, No.SIK beserta
stempel apotek. Surat
pesanan tersebut dikirim ke PBF sebanyak 4 rangkap dan 1 rangkap
disimpan sebagai arsip. Berdasarkan Surat Pesanan tersebut maka PBF membuat faktur. Petugas PBF mengantarkan obat narkotika langsung
ditandatangani oleh asisten apoteker yang khusus menangani narkotika. Faktur
yang telah ditandatangani oleh petugas, dismpan sebanyak 2 rangkap dan sisanya
dikembalikan ke PBF. Berdasarkan faktur petugas rak mencatat narkotika ke kartu
stok barang. Selain itu asisten apoteker yang juga menangani narkotika juga
mencatat ke dalam kartu stok narkotika. Adapun jenis narkotika yang ada antara lain :
-
MSG
-
Pethidin ampul
-
Kodein ( 10 mg, 15 mg, 20 mg )
-
Codipront, codipront sirup,
codipront ekspektorant
-
Doveri ( 100 mg, 150 mg dan 200
mg)
Penyimpanan narkotika harus memenuhi
ketentuan PERMENKES RI Nomor 28/Menkes/Perawatan/1970 tentang penyimpanan
narkotika. Penyimpanan narkotika harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
-
Harus dibuat seluruhnya dari
kayu atau bahan lain yang kuat
-
Harus mempunyai kunci yang kuat
-
Narkotika disimpan dalam lemari
khusus yang terdiri 2 bagian dengan kunci yang berlainan. Bagian pertama
digunakan untuk menyimpan morfin, pethidin dan garam-garamnya sedangkan bagian
kedua menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.
-
Tempat khusus penyimpanan
narkotika dikunci dengan baik, lemari khusus tidak boleh dipergunakan untuk
penyimpanan barang-barang selain narkotika. Kunci lemari baik di gudang maupun
di bagian peracikan dipegang oleh asisten apoteker penanggung jawab narkotika
dan duplikasinya dipegang oleh apoteker. Lemari narkotika tersebut ditaruh di
tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum.
IV. Pengeluaran
Dalam
menerima resep narkotika yang perlu diperhatikan adalah nama dan alamat dokter,
jumlah obat yang diminta, aturan pakai, keaslian resep yaitu jika berupa
salinan resep, maka hanya dapat dilayani oleh apotek, jika salinan resep
tersebut dibuat oleh Apotek khusus resep-resep yang
mengandung sediaan morfin , pethidin, dan garam-garamnya, maka pada saat
menerima resep harus diperhatikan apakah pasien tersebut termasuk penderita
ketergantungan narkotika, jika benar maka resep dilayani hanya bila disertai
dengan surat
keterangan dari rumah sakit jiwa.
Setiap
pengeluaran obat narkotika maka harus dicatat pada kartu stock mengenai tanggal
pengeluaran, jumlah yang diambil, nomor resep, nama dan alamat dokter yang
menulis resep, nama dan alamat pasien, paraf yang mengambil serta jumlah stock
terakhir. Berdasarkan catatan pada karu stock, asisten apoteker penanggung
jawab narkotika mencatat pada buku regristasi untuk keperluan dalam pembuatan
laporan bulanan narkotika.
V. Laporan Pemakaian
Semua penerimaan dan pengeluaran
narkotika berdasarkan resep dokter harus dicatat dan dibukukan. Dari data
inilah kemudian dibuat laporan bulanan
pemakaian narkotika. Laporan tersebut memuat antara lain: nama dan alamat
apotek, nomor surat
izin apotek (SIA), nama narkotika, persediaan awal bulan, penambahan,
pengeluaran, persediaan akhir bulan dan keterangan.
Khusus
pemakaian morfin dan pethidin serta garam-garamnya, dibuat laporan secara
khusus dengan mencantumkan nomor urut, nomor dan tanggal penyerahan resep, nama
bahan baku/sediaan, jumlah, nama dan alamat penderita serta nama dan alamat
dokter.
Laporan
pemakaian narkotika harus ditanda tangani apoteker disertai nama jelas, nomor
SIK dan stempel apotek. Setiap kali apotek melakukan pemesanan narkotika ke PBF apotek melampirkan stok akhir narkotika yang ada. Kemudian PBF yang akan merekapitulasi pemakaian narkotika dan kemudian
melaporkannya tiap triwulan ke Dinas Kesehatan dan Balai POM.
VI. Pemusnahan
Sesuai dengan Undang-undang RI No.22
tahun 1997 pasal 60 bahwa narkotika yang sudah rusak atau yang tidak memenuhi
mutu palayanan kesehatan, kadaluarsa, harus dimusnahkan dengan dilengkapi berita
acara pemusnahan.
Narkotika
yang rusak di apotek harus dilaporkan ke kantor Dinas kesehatan dan Badan
Pemeriksaan Obat dan Makanan setempat untuk dimusnahkan. Dalam pemusnahan harus
dihadiri oleh salah seorang saksi dari Balai POM dan Apoteker. Setelah
dimusnahkan, dibuat berita acara pemusnahannya. Berita acara pemusnahan
tersebut memuat :
-
Hari, tanggal, bulan dan tahun
pemusnahan
-
Nama pemegang izin khusus
pemusnahan (Apoteker pengelola apotek)
-
Nama saksi dari pemerintahan
dan saksi dari apotek
-
Nama dan jumlah narkotika yang
dimusnahkan
-
Cara pemusnahan
-
Tanda tangan penanggung jawab
apotek dan saksi-saksi
Selanjutnya berita acara tersebut dikirim ke dirjen POM dan Dinas Kesehatan
setempat.
PEDOMAN PENYUSUNAN DOKUMEN AKREDITASI PUSKESMAS
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu unsur penting dan sangat vital yang menentukan keberhasilan akreditasi FKTP adalah bagaimana mengatur sistem pengdokumentasian dokumen.
Pengaturan sistem
dokumentasi
dalam satu dalam
proses
implementasi
akreditasi FKTP dianggap penting karena dokumen merupakan acuan kerja, bukti pelaksanaan dan penerapan kebijakan, program dan kegiatan, serta bagian dari salah
satu persyaratan Akreditasi FKTP. Dengan adanya sistem dokumentasi yang
baik
dalam suatu institusi/organisasi diharapkan fungsi-fungsi setiap personil
maupun bagian-bagian dari organisasi dapat berjalan sesuai dengan perencanaan bersama dalam upaya mewujudkan kinerja yang optimal
Dokumen yang dimaksud dalam Akreditasi FKTP secara garis besar dibagi
atas
dua bagian yaitu dokumen internal dan eksternal. Dokumen tersebut digunakan untuk membangun dan membakukan sistem
manajemen
mutu
dan
sistem manajemen pelayanan. Regulasi internal tersebut berupa
Kebijakan, Pedoman, Standar operasional
prosedur (SOP) dan dokumen lain disusun
berdasarkan peraturan perundangan
dan pedoman-pedoman (regulasi) eksternal yang
berlaku.
Agar para pemangku kepentingan Akreditasi FKTP memiliki acuan dan memudahkan dalam
melakukan dokumentasi perlu disusun Pedoman Penyusunan
Dokumen Akreditasi FKTP.
B. MAKSUD DAN TUJUAN
1. Maksud
Pedoman ini
dimaksudkan agar
semua pemangku kepentingan
memiliki acuan
dalam melakukan standarisasi tata naskah seluruh dokumen terkait akreditasi FKTP
2. Tujuan
a. Tersedianya pedoman bagi Kepala, penanggung jawab dan pelaksana upaya kesehatan di FKTP dalam menyusun dokumen-dokumen yang dipersyaratkan
dalam standar akreditasi,
b. Tersedianya Pedoman bagi pendamping akreditasi di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota untuk melakukan pendamping pada FKTP,
c. Tersedianya pedoman
bagi
Surveior dalam melakukan
penilaian
akreditasi FKTP,
d. Tersedianya pedoman penyusunan dokumen untuk pelatihan akreditasi
FKTP.
C. SASARAN
a. Pelatih akreditasi
b. Pendamping dan surveior akreditasi FKTP
c. Kepala FKTP, penanggungjawab, pelaksana dan Tim Mutu/Akreditasi
FKTP
d. Pemerhati akreditasi FKTP
D. DASAR
HUKUM
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 116;
2. Undang-Undang Republik
Indonesia
Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tetang Pelayanan
Publik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Tenaga
Kesehatan;
5. Undang-Undang Republik
Indonesia
Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional;
7. Peraturan Menteri
PAN dan RB Nomor 35
tahun
2012 tentang Pedoman
Penyusunan Standar Operasional Prosedur Administrasi Pemerintahan;
8. Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor
71 tahun 2013 tentang
Pelayanan
Kesehatan pada Jaminan Kesehatan
Nasional;
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 tahun 2014 tentang Klinik;
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014 tentang Puskesmas;
11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 59/2015 tentang Komisi
Akreditasi
FKTP.
BAB II
DOKUMENTASI AKREDITASI FKTP
A. Jenis Dokumen Berdasarkan Sumber
1. Dokumen Internal
Sistem manajemen mutu, sistem penyelenggaraan pelayanan upaya kesehatan perorangan, dan sistem penyelenggaraan upaya kesehatan
masyarakat (untuk Puskesmas)
perlu
dibakukan berdasarkan
regulasi internal
yang ditetapkan oleh
Kepala
FKTP.
Regulasi
internal tersebut
disusun dan ditetapkan dalam bentuk
dokumen yang harus disediakan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) untuk memenuhi standar
akreditasi.
2. Dokumen Eksternal
Regulasi eksternal yang berupa
peraturan perundangan dan pedoman- pedoman yang diberlakukan oleh Kementerian Kesehatan, Dinas
Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota dan organisasi profesi, yang merupakan acuan bagi
FKTP
dalam menyelenggarakan administrasi manajemen dan
upaya
kesehatan perorangan serta khusus bagi
Puskesmas untuk penyelenggaraan
upaya kesehatan masyarakat.
Dokumen-dokumen eksternal sebaiknya ada di FKTP tersebut, sebagai
dokumen yang dikendalikan, meskipun dokumen eksternal
tersebut tidak merupakan persyaratan dalam penilaian
akreditasi.
B. Jenis Dokumen Akreditasi FKTP
1. Dokumen Induk
Dokumen asli dan telah disahkan oleh
Kepala FKTP.
2. Dokumen terkendali
Dokumen yang didistribusikan kepada sekretariat/tiap
unit/pelaksana, terdaftar dalam Daftar Distribusi Dokumen Terkendali, dan menjadi acuan
dalam melaksanakan pekerjaan dan dapat
ditarik bila ada perubahan (revisi).
Dokumen ini harus ada tanda/stempel “TERKENDALI”.
3. Dokumen tidak terkendali
Dokumen yang didistribusikan untuk kebutuhan eksternal atau atas permintaan pihak di luar FKTP digunakan untuk
keperluan insidentil, tidak dapat digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan pekerjaan dan memiliki tanda/stempel “TIDAK TERKENDALI”. Yang berhak mengeluarkan dokumen
ini
adalah Penanggung jawab Manajemen Mutu dan tercatat pada Daftar Distribusi Dokumen Tidak Terkendali
4. Dokumen Kedaluwarsa
Dokumen yang dinyatakan sudah tidak
berlaku oleh karena telah mengalami
perubahan/revisi sehingga tidak dapat lagi
menjadi acuan
dalam melaksanakan pekerjaan. Dokumen ini harus ada tanda/stempel
“KEDALUWARSA”. Dokumen induk
diidentifikasi dan dokumen sisanya dimusnahkan.
C. Jenis Dokumen yang perlu disediakan
Dokumen-dokumen
yang perlu disediakandi Puskesmas adalah sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan
manajemen
Puskesmas:
a. Kebijakan Kepala Puskesmas,
b. Rencana Lima Tahunan Puskesmas,
c.
Pedoman/manual mutu,
d. Pedoman/panduan teknis
yang terkait dengan manajemen,
e. Standar operasional prosedur (SOP),
f. Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP):
1) Rencana Usulan Kegiatan (RUK), dan
2) Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK)
g. Kerangka Acuan Kegiatan.
2. Penyelenggaraan
Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM):
a. Kebijakan Kepala Puskesmas,
b. Pedoman untuk
masing-masing UKM (esensial maupun pengembangan),
c.
Standar operasional prosedur (SOP),
d. Rencana Tahunan untuk masing-masing UKM, e.
Kerangka Acuan Kegiatan pada tiap-tiap UKM.
3. Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)
a. Kebijakan tentang pelayanan klinis, b. Pedoman Pelayanan Klinis,
c. Standar operasional prosedur (SOP) klinis,
d. Kerangka Acuan terkait dengan Program/Kegiatan Pelayanan Klinis dan
Peningkatan
Mutu dan Keselamatan Pasien.
Dokumen-dokumen
yang perlu
disediakan oleh
klinik
pratama dan praktik
dokter/dokter gigi mandiri, antara lain
adalah:
1. Rencana strategis/rencana lima tahunan,
2. Rencana tahunan,
3. Kebijakan Kepala Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama,
4. Pedoman/panduan mutu,
5. Standar operasional prosedur (SOP),
6. Panduan-panduan teknis,
7. Kerangka Acuan Kegiatan.
Sebagai bukti
pelaksanaan kegiatan dan pelayanan,
Puskesmas dan Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama perlu menyiapkan rekam implementasi (bukti tertulis kegiatan yang
dilaksanakan) dan dokumen-dokumen pendukung lain, seperti
foto copy ijazah, sertifikat
pelatihan, sertifikat kalibrasi, dan sebagainya.
BAB III
PENYUSUNAN DOKUMEN AKREDITASI
A. Kebijakan
Kebijakan adalah
Peraturan/Surat Keputusan
yang
ditetapkan
oleh Kepala FKTP yang merupakan
garis besar yang
bersifat mengikat dan wajib
dilaksanakan oleh penanggung
jawab maupun pelaksana.
Berdasarkan
kebijakan tersebut, disusun pedoman/panduan dan standar operasional prosedur (SOP) yang memberikan
kejelasan
langkah-langkah dalam pelaksanaan kegiatan di Puskesmas, Klinik Pratama, Dokter
dan
Dokter Gigi Praktik
Mandiri.
Penyusunan Peraturan/Surat Keputusan tersebut harus didasarkan
pada peraturan
perundangan, baik
Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Peraturan Menteri dan pedoman-pedoman teknis yang berlaku seperti yang ditetapkan
oleh Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Dinas
Kesehatan Provinsi, dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Peraturan/Surat Keputusan Kepala FKTP dapat dituangkan dalam
pasal-
pasal dalam keputusan tersebut, atau merupakan lampiran dari
peraturan/keputusan.
Format Peraturan/Surat Keputusan disesuaikan dengan Peraturan Daerah yang
berlaku atau dapat disusun sebagai berikut:
1. Pembukaan ditulis dengan huruf kapital:
a. Kebijakan : Peraturan/Keputusan Kepala (sebutkan nama FKTP), b. Nomor
: ditulis sesuai sistem penomoran di FKTP,
c. Judul : ditulis judul Peraturan/Keputusan tentang
d.
Dengan Rahmat
Tuhan
Yang Maha Esa
e. Jabatan pembuat keputusan ditulis simetris, diletakkan di tengah margin
diakhiri dengan tanda koma (,)
2. Konsideran, meliputi:
a. Menimbang:
1) Memuat uraian
singkat tentang pokok-pokok pikiran
yang menjadi
latar belakang dan alasan pembuatan keputusan,
2) Huruf awal kata “menimbang” ditulis dengan huruf kapital diakhiri
dengan tanda baca titik dua ( : ), dan
diletakkan
di
bagian kiri,
3) konsideran
menimbang
diawali
dengan penomoran
menggunakan
huruf kecil dan dimulai
dengan kata “bahwa”
dengan “b” huruf kecil,
dan diakhiri dengan
tanda baca (;).
b. Mengingat:
1) Memuat dasar kewenangan dan peraturan perundangan yang
memerintahkan pembuat Peraturan/Surat Keputusan tersebut,
2) Peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum adalah peraturan
yang tingkatannya
sederajat atau
lebih tinggi,
3) Kata “mengingat” diletakkan di bagian
kiri sejajar kata menimbang,
4) Konsideran yang berupa peraturan
perundangan diurutkan sesuai
dengan hirarki tata perundangan dengan
tahun
yang
lebih
awal
disebut lebih dulu,
diawali dengan nomor 1,
2, dst, dan diakhiri
dengan tanda baca (;).
3. Diktum:
a. Diktum “MEMUTUSKAN” ditulis simetris di tengah, seluruhnya dengan
huruf kapital;
b. Diktum Menetapkan dicantumkan
setelah kata memutuskan
sejajar dengan kata menimbang dan mengingat, huruf awal kata menetapkan ditulis dengan huruf kapital, dan diakhiri dengan
tanda baca titik dua (
: );
c. Nama
keputusan
sesuai dengan judul keputusan (kepala), seluruhnya ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan
tanda baca titik
( . ).
4. Batang Tubuh.
a. Batang
tubuh memuat semua substansi Peraturan/Surat Keputusan yang
dirumuskan dalam diktum-diktum, misalnya:
Kesatu : Kedua : dst
b. Dicantumkan
saat berlakunya
Peraturan/Surat Keputusan, perubahan,
pembatalan, pencabutan ketentuan, dan peraturan lainnya, dan
c. Materi kebijakan
dapat dibuat sebagai lampiran Peraturan/Surat Keputusan,
dan
pada halaman terakhir ditandatangani
oleh
pejabat yang
menetapkan Peraturan/Surat Keputusan.
5. Kaki:
Kaki Peraturan/Surat Keputusan merupakan
bagian akhir substansi yang memuat penanda
tangan penerapan Peraturan/Surat Keputusan,
pengundangan
peraturan/keputusan yang terdiri dari:
a. tempat
dan tanggal penetapan,
b. nama jabatan diakhiri dengan
tanda koma (,),
c. tanda tangan pejabat, dan
d. nama lengkap
pejabat
yang menanda tangani.
6. Penandatanganan:
Peraturan/Surat Keputusan Kepala FKTP ditandatangani oleh Kepala FKTP,
dituliskan nama tanpa gelar.
7. Lampiran Peraturan/Surat Keputusan:
a. Halaman pertama harus dicantumkan nomor dan Judul Peraturan/Surat
Keputusan,
b. Halaman terakhir harus ditanda tangani oleh Kepala FKTP.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk dokumen Peraturan / Surat
Keputusan yaitu :
1. Kebijakan yang telah ditetapkan Kepala FKTP tetap berlaku meskipun terjadi
penggantian Kepala FKTP hingga adanya
kebutuhan revisi atau pembatalan.
2. Untuk Kebijakan berupa Peraturan, pada Batang Tubuh tidak ditulis sebagai diktum tetapi dalam bentuk
Bab-bab
dan Pasal-pasal.
B. Manual Mutu
Manual mutu
adalah
dokumen yang memberi informasi yang konsisten
ke dalam maupun ke luar tentang sistem manajemen mutu.
Manual mutu disusun,
ditetapkan, dan dipelihara oleh
organisasi.
Manual mutu tersebut meliputi:
I. Pendahuluan:
A. Latar belakang
1. Profil Organisasi
2. Kebijakan
Mutu
3. Proses Pelayanan (Proses Bisnis) B. Ruang Lingkup
C. Tujuan
D. Landasan hukum dan acuan
E. Istilah
dan definisi
II. Sistem Manajemen
Mutu dan Sistem Penyelenggaraan Pelayanan:
A. Persyaratan umum
B. Pengendalian dokumen
C. Pengendalian rekaman
III. Tanggung Jawab Manajemen:
A. Komitmen manajemen
B. Fokus pada sasaran/pasien
C. Kebijakan mutu
D. Perencanaan
Sistem Manajemen Mutu dan Pencapaian Sasaran
Kinerja/Mutu
E. Tanggung jawab, wewenang dan komunikasi
F. Wakil Manajemen
Mutu/Penanggung Jawab Manajemen Mutu
G. Komunikasi internal
IV. Tinjauan Manajemen: A. Umum
B. Masukan Tinjauan Manajemen
C. Luaran tinjauan
V. Manajemen
sumber daya:
a. Penyediaan
sumber
daya
b. Manajemen
sumber daya manusia
c.
Infrastruktur
d. Lingkungan kerja
VI. Penyelenggaraan pelayanan:
A. Upaya Kesehatan Masyarakat Puskesmas:
1. Perencanaan Upaya Kesehatan Masyarakat, akses dan pengukuran kinerja
2. Proses yang berhubungan dengan
sasaran:
a. Penetapan persyaratan sasaran
b. Tinjauan terhadap persyaratan
sasaran c. Komunikasi dengan sasaran
3. Pembelian (jika ada)
4. Penyelenggaraan UKM:
a. Pengendalian proses penyelenggaraan upaya b. Validasi proses penyelenggaraan
upaya
c. Identifikasi dan
mampu telusur d. Hak dan kewajiban sasaran
e. Pemeliharaan barang milik pelanggan (jika ada)
f. Manajemen
risiko dan keselamatan
5. Pengukuran, analisis,
dan penyempurnaan sasaran kinerja UKM:
a. Umum
b. Pemantauan dan
pengukuran:
1) Kepuasan pelanggan
2) Audit internal
3) Pemantauan dan
pengukuran
proses
4) Pemantauan dan
pengukuran
hasil layanan c.
Pengendalian jika ada hasil yang tidak sesuai
d. Analisis data
e. Peningkatan berkelanjutan f. Tindakan korektif
g. Tindakan preventif
B. Pelayanan klinis (Upaya Kesehatan
Perseorangan) :
1. Perencanaan
Pelayanan Klinis
2. Proses yang berhubungan dengan pelanggan
3. Pembelian/pengadaan barang terkait dengan
pelayanan klinis:
a. Proses pembelian
b. Verifikasi barang yang dibeli c. Kontrak dengan pihak
ketiga
4. Penyelenggaraan
pelayanan klinis:
a. Pengendalian proses pelayanan klinis
b.
Validasi proses pelayanan
c. Identifikasi dan ketelusuran
d. Hak
dan
kewajiban pasien
e. Pemeliharaan barang milik pelanggan (spesiemen, rekam medis, dsb)
f. Manajemen
risiko dan keselamatan pasien
5. Peningkatan
Mutu Pelayanan Klinis dan
Keselamatan Pasien:
a. Penilaian indikator kinerja klinis
b. Pengukuran
pencapaian sasaran
keselamatan pasien c. Pelaporan
insiden
keselamatan
pasien
d. Analisis dan
tindak lanjut
e. Penerapan manajemen risiko
6. Pengukuran, analisis,
dan penyempurnaan:
a. Umum
b. Pemantauan dan
pengukuran:
1) Kepuasan pelanggan
2) Audit internal
3) Pemantauan dan
pengukuran
proses, kinerja
4) Pemantauan dan
pengukuran
hasil layanan c. Pengendalian jika ada hasil yang tidak
sesuai
d. Analisis data
e. Peningkatan berkelanjutan
f. Tindakan korektif
g. Tindakan
preventif
VII. Penutup
Langganan:
Postingan (Atom)